Janji Suci yang Kutegakkan Sendiri
Aku bukan orang paling romantis, tapi aku percaya cinta bisa dijaga dengan cara yang benar.
Lima tahun lalu, aku kenal dengan seorang perempuan dari Hongkong. Waktu itu aku kerja di Taiwan, dan kami sama-sama perantau. Awalnya cuma ngobrol biasa lewat facebook, lalu mulai intens.
Kami sering kirim pesan, telpon, video call. Tapi kami sepakat satu hal: kita nggak akan ketemuan sebelum hari kita sah.
Aku dan dia janji untuk nggak berbuat hal yang "nggak wajar" sebelum nikah.
Buat banyak orang mungkin ini lebay, tapi buat aku, ini soal prinsip.
Aku mau hubungan yang bersih, yang bisa aku banggakan di depan Tuhan dan orang tuaku.
Lima Tahun Menjaga, Satu Hari yang Menghancurkan
Lima tahun.
Aku tahan rindu, tahan godaan, dan tahan semua hal yang biasanya bikin orang nyerah.
Aku nolak kenalan baru, aku jaga komunikasi, dan aku percaya dia juga sama.
Kami saling jaga hati, bahkan saat saling marah pun, kami nggak pernah ninggalin. Semua karena percaya dan komitmen.
Sampai akhirnya… orang tua kami ngobrol.
Mereka sepakat buat mempertemukan keluarga, sekalian cari tanggal baik buat acara lamaran sekaligus akad nikah.
Deg-degan? Banget.
Bayangin aja, lima tahun kamu cuma lihat wajah dia dari layar, denger suara dari speaker HP, dan sekarang… kamu bakal ketemu langsung.
Tapi semua berubah saat pintu rumahnya dibuka.
Dia keluar sambil senyum. Tapi senyum itu nggak seperti yang aku bayangkan.
Antara Cinta Sejati atau Cuma Imajinasi
Aku tahu ini terdengar jahat, tapi aku harus jujur.
Wajahnya... jauh banget dari yang aku lihat selama ini.
Nggak cuma soal penampilan. Tapi auranya, tatapannya, bahkan cara dia bicara... beda.
Selama lima tahun, aku membangun gambaran di kepala tentang siapa dia. Tentang sosok yang aku tunggu, yang aku jaga. Tapi begitu kami akhirnya bertemu, aku merasa asing.
Bukan karena dia jelek. Tapi karena aku merasa aku tidak mengenalnya.
Aku cuma bisa diam. Dia juga diam.
Kami tersenyum, tapi senyumnya terasa seperti formalitas.
Matanya seperti mau bilang, “Maaf ya, ini aku yang sebenarnya.”
Bertahan atau Mundur Pelan?
Malam itu aku nggak bisa tidur.
Kepalaku penuh pertanyaan.
Apa aku terlalu menaruh harapan? Apa selama ini aku jatuh cinta sama versi editan? Apa ini semua salahku karena terlalu percaya layar?
Aku bukan mau batalin semua. Tapi aku juga nggak bisa bohong.
Ada bagian dalam diriku yang retak.
Aku kecewa — bukan cuma ke dia, tapi ke diriku sendiri yang terlalu idealis.
Sekarang aku di persimpangan:
lanjut nikah karena udah janji?
Atau mundur sebelum semuanya makin dalam?
Sisi Baik dari Semua Ini
-
Aku belajar arti setia, sabar, dan menjaga diri.
-
Aku tahu bahwa cinta bisa dijaga tanpa harus sentuhan fisik.
-
Aku punya pengalaman yang bisa aku ceritakan ke anak cucu nanti, tentang cinta yang aku perjuangkan dengan hati penuh.
Sisi Buruknya?
-
Ternyata... layar bisa bohong. Bahkan video call pun nggak bisa nunjukin semua.
-
Kadang kita jatuh cinta bukan ke orangnya, tapi ke imajinasi yang kita bentuk tentang dia.
-
Harapan yang dibangun terlalu tinggi, bisa jatuh dan nyakitin banget waktu realita datang.
Kesimpulan:
Kalau kamu lagi LDR, aku nggak mau ngejatuhin semangatmu.
Cinta jarak jauh bisa berhasil. Tapi tolong, sesekali lihat kenyataan. Jangan hanya bergantung pada kata-kata dan wajah di layar.
Kalau bisa ketemu langsung — temui. Kalau bisa jujur, jujurlah.
Karena cinta itu bukan soal menunggu waktu halal saja, tapi juga kesiapan menerima orang yang nyata, bukan hanya versi terbaiknya.
Disclaimer:
Cerita ini adalah kisah nyata. Beberapa nama dan tempat telah disamarkan demi menjaga privasi. Artikel ini ditulis untuk pembelajaran dan refleksi, bukan untuk menyudutkan pihak mana pun.
Kalau kamu pernah mengalami yang mirip, tulis di komentar atau bagikan cerita ini ke temanmu. Siapa tahu, kisah ini bisa jadi pelajaran sebelum kamu terlalu jauh jatuh dalam ekspektasi yang dibentuk dari sinyal internet
Komentar
Posting Komentar