 |
sumer gambar unplash |
Pertemuan yang Tak Pernah Terbayangkan
Kami menjalani hubungan jarak jauh selama tiga tahun. Setiap malam, aku tertidur dengan suaranya di telepon, membayangkan seperti apa rasanya bertemu secara langsung. Aku membayangkan pelukan pertama, senyum manisnya, bahkan aroma parfum yang biasa ia pakai.
Namun, satu hal yang tidak pernah terlintas dalam bayanganku adalah dua pasang mata kecil yang menatapku penuh curiga saat kami akhirnya bertemu.
"Ini... anakmu?"
Dia mengangguk pelan sambil memeluk erat seorang bocah laki-laki yang bersembunyi di balik roknya.
"Yang ini Aldi, 5 tahun. Yang di dalam lagi tidur, Nayla, 3 tahun."
Aku tersenyum kaku. Otakku masih mencoba mencerna kenyataan itu. Kenapa tidak pernah bercerita? Tapi aku menahan diri. Mungkin ini adalah ujian. Mungkin aku bisa menerimanya.
Reaksi Keluarga: “Jadi Ayah Tiri di Usia 25 Tahun?”
Saat aku bercerita pada keluarga, reaksi mereka tak bisa dibilang ringan.
Ibu menjatuhkan piring dari tangannya.
“Dia janda? Anak dua? Kamu serius mau jadi pengganti suaminya?”
Ayah hanya terdiam lama, lalu berkata pelan:
“Nak, kita bukan keluarga berada. Kamu yakin siap menghidupi tiga orang tambahan?”
Adikku malah berseloroh:
“Wah, langsung punya keluarga instan. Kayak beli mi, dapat bonus telur!”
Aku ingin membela diri. Tapi dalam hati, aku juga masih penuh keraguan.
Kenangan Pahit yang Sekarang Jadi Tawa Getir
Saat pertama kali menginap di rumahnya, Nayla muntah di bajuku yang paling kusukai, sambil menangis:
“Aku mau papa asli!”
Aldi pernah bertanya polos sambil memegang tanganku:
“Om, nanti kalau mama nikah sama om, om jadi papa aku? Tapi aku tetap sayang papa yang di surga, ya...”
Malam pertama kami “kencan” setelah lama LDR, justru dihabiskan dengan menenangkan Nayla yang demam, sambil menonton film Frozen tiga kali berturut-turut.
Pertanyaan yang Tak Berani Kujawab
Aku mencintainya. Tapi…
-
Apakah aku siap menjadi figur ayah bagi anak yang bukan darah dagingku?
-
Apakah cinta kami cukup kuat untuk menghadapi penolakan keluarga?
-
Atau... mungkinkah aku hanya menjadi pelariannya setelah kepergian sang suami?
Surat untuk Diriku yang Bingung
“Hai, diriku yang keras kepala...
Kamu pikir cinta hanya soal siapa yang bisa bikin kamu bahagia. Tapi sekarang, ada dua manusia kecil yang ikut menentukan arti kebahagiaanmu.
Jika kamu memilih pergi, itu manusiawi—tapi jangan pernah menyesali senyum Aldi saat ia diam-diam mengambilkan air putih untukmu waktu kamu batuk.
Jika kamu memilih bertahan, bersiaplah untuk malam-malam tanpa tidur karena mimpi buruk Nayla, dan tawa cekikikan saat mereka memaksamu jadi ‘raksasa’ dalam permainan mereka.
Karena cinta bukan sekadar soal mendapatkan seseorang. Tapi juga tentang keberanian untuk kehilangan sebagian dari dirimu demi sesuatu yang lebih besar.”
DISCLAIMER
Tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata, namun telah diolah dengan:
✔️ Nama dan detail diubah demi menjaga privasi.
✔️ Sedikit dramatisasi demi membangun suasana.
✔️ Emosi tetap 100% asli—kebingungan, sedih, dan tawa getir yang jujur.
Catatan untuk Pembaca:
😢 Boleh menangis, tapi jangan lupa ambil hikmahnya.
😂 Boleh tertawa, karena hidup memang kadang terasa seperti sinetron yang sulit ditebak.
Komentar
Posting Komentar